Kemerdekaan Sebatas Semboyan

Oleh: Muhammad Arief Rosyid Hasan

(Ketua Umum PBHMI Periode 2013-2015)

Kemerdekaan Republik Indonesia berusia 69 tahun. Gegap gempita euforia dapat dengan mudah kita temui dalam simbolitas yang tercipta melalui ritual tahunan peringatan proklamasi kemerdekaan yang diselenggarakan.

Haru yang dirasakan secara kolektif oleh masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa ini terbangun melalui sebuah proses yang panjang dengan dinamika yang sangat kompleks. Kemerdekaan atas imperialisme dan kolonialisme yang dirasakan di masa lalu adalah buah dari proses ikhtiar dari para generasi sebelumnya yang dengan ikhlas dan tulus berkorban harta, pemikiran dan bahkan nyawa.

Sebagai generasi penerus, mencermati rekam jejak sejarah perjalanan bangsa ini berarti amanah untuk terus berefleksi atas segala pencapaian kita selama ini sebagai sebuah bangsa dan juga sebagai sebuah negara.

Kemerdekaan hakiki harus kita akui masih jauh dari kondisi idealitasnya. Kedaulatan sebagai bangsa yang harusnya mampu menghantarkan kita pada kondisi kemerdekaan yang sesungguhnya masih sebatas semboyan belaka. Berkah kekayaan alam yang berlimpah yang kita miliki harusnya mampu menghidupi diri sendiri tanpa harus bergantung pada
pihak asing.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup impresif beberapa tahun terakhir terhitung belum cukup berkualitas karena lebih banyak ditopang oleh sektor konsumsi. Indonesia tidak lebih dianggap sebagai pasar empuk bagi komoditas impor dan lumbung buruh murah oleh perusahaan multinasional.

Bom Waktu

Pesatnya arus investasi asing yang masuk ke dalam negeri pada akhirnya melibas ekonomi lokal dan berimbas pada mandeknya tumbuh kembang perindustrian nasional Hal ini diperparah konsentrasi ekonomi yang tidak merata kepada seluruh wilayah Indonesia.

Ketimpangan sosial yang terakumulasi sehingga pada akhirnya bertransformasi menjadi konflik horizontal, kemiskinan yang kian parah dan terpinggirkannya kaum marjinal. Bom waktu ini sewaktu-waktu dapat meledak dan mengancam kedaulatan kita sebagai bangsa yang besar.

Asumsi teoritis tentang trickle down effect pada kenyataannya tidak berjalan sesuai skenario tanpa dibarengi political will yang kuat dari pemerintah. Simpati masyarakat terhadap negara dari waktu ke waktu juga semakin susut. Beberapa penelitian ilmiah menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik terutama partai politik berada di titik nadir.

Kasus korupsi yang belakangan ini terungkap yang menyeret banyak petinggi legislatif dan eksekutif di kursi pesakitan dianggap sebagai pemicu utama fenomena apatisme kolektif ini. Legitimasi elektoral yang diperoleh oleh para wakil rakyat urung untuk di gunakan sebagai legitimasi politik.

Masyarakat yang semakin cerdas mulai menggugat keberpihakan negara dan eksistensinya sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat. Rendahnya tingkat partisipasi politik warga negara adalah bukti yang sangat gamblang betapa apatisme publik sedang mewabah di negeri ini.

Instabilitas demokrasi yang selama ini mendera republik ini tidak layak lagi untuk dianggap sebagai dinamika politik biasa. Ekses yang ditimbulkan kontraproduktif dengan proses pembangunan yang sedang berjalan.

Modal Sosial

Soekarno, salah seorang pendiri republik ini, sebelum kemerdekaan mengingatkan kepada kita bahwa kedaulatan bangsa hanya mampu dicapai melalui persatuan dari semua kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Persatuan ini dapat meretas kepentingan dan ideologi untuk dilebur dalam sebuah gerakan nasional untuk mencapai cita-cita sosial bersama yang telah digariskan dalam konstitusi negara.

Parameter kemajuan pembangunan hanya mampu dilihat dari seberapa besar keadilan sosial mampu mengejawahtah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui poros keadilan ini setiap kebijakan pembangunan secara paradigmatic diformulasikan.

Bukan Lagi “bermitra dengan pasar” tetapi membangun komitmen nasional untuk merebut kembali sektor-sektor ekonomi demi menyelamatkan sendi-sendi sosial yang kehidupan rakyat. Sektor strategis seperti pangan, energi, transportasi, dan komunikasi mesti mengecap label nasionalisasi sekarang juga.

Tantangan terhadap ke-Indonesia-an kita pada masa yang akan datang semakin berat. Dampak dari krisis ekonomi global masih berimbas pada kelesuan perdagangan internasional. Ketergantungan komoditas unggulan Indonesia terhadap permintaan pasar internasional cukup mengkhawatirkan mengingat kondisi ketidakpastian yang mungkin terjadi.

Eskalasi politik dalam negeri yang cenderung memanas pada 2014, jika tidak mampu dikelola dengan baik dapat berujung terganggunya stabilitas nasional. Pada kesempatan ini kami menghimbau kepada seluruh elemen bangsa untuk mampu menundukkan ego sektarian dan kelompok dan menyongsong kemajuan Indonesia.

Saatnya memupuk modal sosial (social capital) yang selama ini tergerus akibat modernisasi demokrasi sebagai mata rantai terlemah dalam keseluruhan sistem, modal sosial yang ditandai dengan sikap saling mempercayai mendesak untuk segera dibenahi. Dengan demikian legitimasi etis dari masyarakat dapat kembali menjadi domain dari negara.

Tinggalkan komentar